BEKASI, BARAK.ID – Sebuah peristiwa memilukan yang terjadi di SDN 09N Jatimulya, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, tengah menjadi sorotan nasional setelah FAA (12), seorang siswa di sekolah tersebut, harus menjalani amputasi kaki karena infeksi kanker tulang yang diduga akibat perundungan fisik oleh teman sekelasnya.
Siswa SD Bekasi Dibuli – Amputasi Kaki, Wakepsek Sebut Hanya Bercanda
Kontroversi makin bertambah ketika Wakil Kepala Sekolah, Sukaemah, yang juga wali kelas korban, memberikan pernyataan yang dinilai netizen sebagai penyepelekan kasus perundungan yang serius.
FAA, dikabarkan harus kehilangan bagian kaki kirinya setelah insiden di sekolah di mana ia ditendang oleh temannya hingga mengalami luka parah dan jatuh. Infeksi yang terjadi pada lukanya tersebut berkembang menjadi kanker tulang, yang akhirnya memaksa dokter untuk melakukan amputasi guna menyelamatkan nyawanya.
Di samping trauma fisik, korban juga mengaku kerap diolok-olok oleh teman-temannya dengan ejekan personal yang berdampak pada kesehatan mentalnya.
Ketika ditanya mengenai insiden tersebut, Sukaemah dengan santainya menyatakan bahwa apa yang terjadi hanyalah bercandaan biasa yang sering terjadi di antara siswa-siswa kelas 6.
“Mungkin kalau bercandaan ‘ah lu jelek, ah lu hitam’ mungkin ya namanya sudah kelas 6, sudah biasa kayaknya juga. Mungkin menurut Fatir lain lagi kali ya,” ucap Sukaemah.
Penjelasan Sukaemah ini dengan cepat memicu kemarahan di media sosial, dengan netizen mengecam sikap yang dianggap mengabaikan dampak serius dari bullying.
Diana Novita, ibu Fatir, sangat terpukul dan kini tengah memperjuangkan keadilan untuk putranya yang tak hanya mengalami kehilangan fisik tetapi juga beban psikologis akibat kejadian di sekolahnya.
Reaksi dari netizen terhadap sikap Sukaemah menunjukkan kekecewaan yang mendalam. Seorang pengguna Twitter dengan nama @noirunee berkomentar, “Bisa-bisanya seignorant itu, selevel Wakil Kepala Sekolah loh.”
Sementara itu, akun lain @chieemistry menambahkan, “Buk ibu, yang namanya bercanda ya ketawa semuanya. Kalo ada yang risih dan gak nyaman itu namanya bukan becanda, gimana si? Apalagi ini udah bikin cacat.”
Polemik ini membawa perhatian tidak hanya pada kasus Fatir tetapi juga pada tanggapan sekolah atas insiden perundungan yang terjadi.
Beberapa pakar pendidikan dan psikologi anak mengatakan bahwa kasus ini menunjukkan kebutuhan mendesak untuk peningkatan kesadaran dan pendidikan mengenai perundungan di sekolah-sekolah Indonesia.
Menurut data yang dirilis oleh beberapa LSM yang bergerak di bidang perlindungan anak, kasus perundungan di sekolah-sekolah Indonesia cenderung meningkat dan seringkali tidak ditangani dengan serius oleh pihak sekolah maupun orang tua.
Baca Juga: Adu Mulut Berujung Maut, Tim Charlie Ringkus Penikam Mahasiswa
Kekerasan fisik dan mental yang dikemas dalam bentuk ‘candaan’ bisa berujung pada konsekuensi tragis, seperti yang dialami oleh Fatir.
Lembaga pendidikan dan orang tua diminta untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak, di mana perundungan tidak dibiarkan tumbuh dan berkembang.
Program pendidikan karakter dan anti-bullying perlu diperkuat, dan pelatihan bagi guru untuk mendeteksi serta menangani kasus perundungan harus menjadi prioritas. (*)