Barak.id – Ada babak baru dalam cerita panjang perjuangan rakyat Indonesia mendapatkan layanan kesehatan yang adil dan terjangkau. Di tengah harapan jutaan orang akan perlindungan tanpa beban, sebuah keputusan muncul dari menara tinggi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang membuat denyut jantung para pemegang polis berdetak lebih cepat.
Aturan Baru OJK
Mulai 1 Januari 2026, mereka tak lagi bisa menyerahkan sepenuhnya nasib kesehatan kepada perusahaan asuransi. Sebab kini, mereka diwajibkan untuk ikut menanggung — secara harfiah — sebagian beban biaya pengobatan mereka sendiri. Minimal 10 persen dari total biaya klaim harus keluar dari kantong pribadi, sebuah syarat baru dalam Surat Edaran OJK Nomor 7/SEOJK.05/2025 (SEOJK 7/2025) tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan.
Bayangkan seorang ayah yang harus membawa anaknya ke rumah sakit karena demam tinggi yang tak kunjung reda. Dulu, ia cukup menunjukkan kartu asuransinya, dan sisanya ditangani perusahaan. Tapi kelak, tak peduli seberapa besar premi yang sudah ia bayarkan selama ini, akan ada nominal yang harus tetap ia bayar. Rp300.000 untuk setiap rawat jalan, atau hingga Rp3.000.000 bila anaknya perlu dirawat inap.
Pihak OJK berdiri pada narasi efisiensi dan tanggung jawab bersama. Dalam keterangannya yang dikutip pada Sabtu (7/6/2025), regulator ini menyebut bahwa kebijakan co-payment ini dirancang agar layanan medis dan obat dimanfaatkan secara lebih bijak, sekaligus menekan lonjakan premi yang bisa membebani konsumen di masa depan. Terdengar logis, memang. Tapi di balik logika itu, ada keresahan yang tak bisa disangkal.
Aturan ini juga menambah barisan kewajiban bagi perusahaan asuransi. Tak cukup hanya menjadi manajer risiko, mereka kini dituntut menjadi mitra medis. Setiap perusahaan asuransi — termasuk yang berbasis syariah — wajib mempekerjakan dokter atau tenaga medis ahli untuk menganalisis tindakan pengobatan yang diajukan. Dewan Penasihat Medis pun wajib dibentuk, dan sistem informasi digital harus dikembangkan agar data medis dapat saling terhubung dengan fasilitas kesehatan.
Namun ada catatan penting yang menenangkan sebagian hati. Kebijakan ini tidak berlaku untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan. Dalam dunia yang semakin mahal, BPJS tetap menjadi benteng terakhir rakyat kecil. Meski begitu, OJK tetap membuka pintu koordinasi pembiayaan jika layanan dilakukan dalam skema BPJS, memberi ruang agar beban biaya bisa saling ditopang, setidaknya dalam praktiknya.
SEOJK 7/2025 adalah kelanjutan dari reformasi regulasi yang dimulai sejak terbitnya POJK Nomor 36 Tahun 2024, yang merevisi POJK sebelumnya. Aturan baru ini memberi waktu hingga akhir Desember 2026 bagi produk asuransi yang sifatnya otomatis diperpanjang, untuk menyesuaikan diri. Sementara polis yang aktif sebelum 1 Januari 2026 akan tetap berlaku hingga masa perlindungannya berakhir.
Bagi OJK, ini adalah langkah ke depan. Mereka berjanji akan memantau dan mengevaluasi implementasi aturan ini secara berkala. Tapi bagi banyak orang, terutama keluarga-keluarga yang menggantungkan rasa aman mereka pada polis asuransi, ini adalah awal dari sebuah babak yang berbeda. Babak di mana perlindungan tak lagi penuh, dan rasa tenang tak lagi utuh. (*)