JAKARTA, BARAK.ID – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) mengumumkan pemberhentian Anwar Usman dari posisinya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Keputusan bersejarah ini diambil dalam sidang etik yang telah menarik perhatian publik dan menjadi topik diskusi hangat di berbagai kalangan.
Anwar Usman Dicopot, Mahfud MD Puji MKMK
Keputusan MKMK dibacakan oleh Jimly Asshiddiqie, yang dikenal sebagai figur penting dalam sejarah MK sebagai Ketua MK pertama dan pendahulu Mahfud MD.
“Hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat. Oleh karena itu, sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi diberikan kepada hakim terlapor,” kata Jimly ketika mengumumkan putusan.
Dampak dari keputusan ini telah mendapat tanggapan dari berbagai pihak, termasuk Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, yang menyatakan rasa hormatnya kepada ketiga anggota MKMK.
“Saya bangga lagi dengan MK sebagai ‘guardian of constitution’. Salam hormat kepada Pak Jimly, Pak Bintan, Pak Wahiduddin,” ucap Mahfud dalam sebuah keterangan tertulis.
Peristiwa ini bermula dari sidang MK pada 16 Oktober 2023, yang memutuskan soal usia calon presiden dan wakil presiden, dimana Anwar Usman, yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Presiden Jokowi, diduga melakukan benturan kepentingan.
Putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, adalah salah satu figur yang berpotensi menjadi calon wakil presiden dalam Pemilu 2024 mendatang.
Baca Juga: Anwar Usman Dicopot Tak Goyahkan Pasangan Prabowo-Gibran
Laporan yang memicu sidang etik ini diajukan oleh berbagai elemen masyarakat, mulai dari Denny Indrayana, PEREKAT Nusantara, hingga sejumlah pengajar hukum yang tergabung dalam Constitutional Administrative Law Society (CALS), yang menuntut transparansi dan keadilan dalam lembaga konstitusi negara.
Selain Anwar Usman, sanksi lisan juga diberikan kepada hakim lain yang terbukti tidak dapat menjaga kerahasiaan informasi dalam rapat permusyawaratan hakim yang seharusnya tertutup dari publik. MKMK mengutuk keras tindakan tersebut, yang dianggap melanggar Sapta Karsa Hutama, prinsip yang mengatur perilaku hakim konstitusi. (*)