MANADO, BARAK.ID – Insiden kekerasan yang menimpa Kapten Kapal, Alprens Ade Harimisa (AAH), oleh enam anggota Polisi Militer TNI Angkatan Laut (Pomal) Lamtamal VIII Manado pada 4 Oktober 2023 mendapat sorotan luas dari publik. Insiden tersebut terjadi hanya sehari menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) TNI ke-78.
Kapten Kapal Disiksa Oknum Anggota POMAL
Dari informasi yang dihimpun, keenam anggota Pomal yang terlibat dalam insiden tersebut kini sedang menjalani tahanan di Lamtamal VII Manado, meski identitas mereka masih dirahasiakan. Laksamana Pertama Nouldy J Tangka, Danlanmatamal VIII Manado, sudah mengambil langkah cepat dengan menyampaikan permohonan maaf kepada korban dan keluarganya. Ia juga menegaskan akan memproses anggota TNI AL tersebut sesuai hukum militer.
Insiden kekerasan diduga bermula saat keenam anggota Pomal dalam tugas pengamanan menemukan kapten kapal bersama Anak Buah Kapal (ABK) dengan produk perawatan kulit ilegal. Situasi semakin memanas dengan adanya dugaan pengaruh alkohol dari kapten kapal yang membuatnya menantang petugas Pomal.
Namun, sorotan utama berasal dari pernyataan istri korban, yang melalui media sosial menyuarakan rasa sakit dan ketidakadilan yang dirasakan. Dalam sebuah cuitan dari akun Twitter @JulainiMadinah, dikutip pernyataan dari istri Alprens Ade Harimisa yang membandingkan tindakan oknum Pomal tersebut dengan kekejian dalam peristiwa G30S PKI.
Dalam cuitannya, istri korban menulis: “Mereka menggiring suami saya ke kantor POMAL di kelurahan Bumi Beringin dan saat di kantor POMAL mereka melakukan perbuatan yang keji, sadis, dan brutal. Mereka memukul suami saya dan tiga ABK lainnya dengan tangan yang diborgol di belakang.”
“Kejadian ini sangat mengingatkan kami pada peristiwa G30S PKI. TNI, yang seharusnya melindungi rakyat, justru melakukan tindakan kejam di dalam markas yang dibiayai oleh uang rakyat. Di hari ulang tahun TNI, ini adalah kado yang sangat menyakitkan bagi kami,” lanjutnya.
Menutup cuitannya, istri korban memohon agar oknum yang terlibat dapat diproses sesuai dengan hukum yang berlaku dan agar proses tersebut transparan. “Kami merasa sengsara dan menangis atas kejadian ini. Kami berharap rintihan kami dari perbatasan Utara NKRI dapat didengar dan diperjuangkan,” tutupnya. (*)