BARAK.ID – Laporan UNICEF terbaru menyoroti bagaimana perubahan iklim berperan besar dalam mengungsi jutaan anak-anak di seluruh dunia. Menurut data yang dirilis, antara tahun 2016 dan 2021, rata-rata 20.000 anak terpaksa meninggalkan rumah mereka setiap hari karena terdampak cuaca ekstrem.
Laporan UNICEF Tentang Jutaan Anak Mengungsi Akibat Perubahan Iklim
Fakta mencengangkan lainnya adalah bahwa, selama periode yang sama, 43 juta dari 134 juta orang yang mengungsi akibat cuaca ekstrem adalah anak-anak. Hampir separuh dari jumlah tersebut, atau kira-kira 21,5 juta anak, terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat badai. Filipina menjadi negara dengan kontribusi tertinggi, mencatat hampir 40% dari total anak yang mengungsi akibat badai.
Baca Juga: Viral! Guru Pajang Bendera LGBT di Kelas, Orang Tua Siswa Protes
Selain badai, banjir di India dan China telah menyebabkan lebih dari 19 juta anak-anak mengungsi. Di sisi lain, kebakaran hutan di Amerika Serikat dan Kanada telah memaksa 810.000 anak untuk mencari tempat tinggal lain.
Namun, dalam keruwetan bencana alam, kekeringan menonjol sebagai faktor yang sering diabaikan. Anak-anak harus mengungsi sebanyak 1,3 juta kali akibat kekeringan selama periode ulasan laporan. Lebih dari setengah dari total tersebut terjadi di Somalia, salah satu negara di Afrika. Tidak seperti bencana lainnya seperti banjir atau badai, kekeringan tidak memicu evakuasi preventif, menjadikannya kurang tercatat.
Pencatatan data merupakan tantangan tersendiri. UNICEF berkolaborasi dengan International Displacement Monitoring Center, sebuah lembaga nirlaba yang berbasis di Jenewa, untuk mengidentifikasi daerah yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, khususnya terhadap anak-anak. Filipina, India, dan China menjadi tiga negara teratas dengan jumlah pengungsi anak terbanyak akibat bencana iklim, mencapai hampir setengah dari total global.
Sistem evakuasi yang kuat memungkinkan negara-negara dengan populasi besar seperti tiga negara di atas untuk mencatat data dengan lebih efektif. Namun, anak-anak di Tanduk Afrika dan pulau-pulau kecil di Karibia ditemukan lebih rentan. Mereka seringkali menghadapi “krisis yang tumpang tindih”, di mana mereka harus berjuang melawan dampak cuaca ekstrem yang diperparah oleh konflik, instabilitas pemerintahan, dan kemiskinan.
Laporan ini juga menyoroti kisah-kisah tragis. Seperti yang dialami oleh Garima Kumar, seorang anak berusia 10 tahun dari New Delhi, India. Banjir Sungai Yamuna yang belum pernah terjadi sebelumnya menghancurkan rumahnya, menelan seragam sekolah dan buku-buku pelajarannya. Kumar dan keluarganya terpaksa mengungsi, hidup di pinggir jalan dan terputus dari pendidikan selama sebulan.
Baca Juga: Ketinggian Mont Blanc Menyusut, Akibat Perubahan Iklim?
UNICEF menyerukan kepada pembuat kebijakan dan sektor swasta untuk lebih memperhatikan risiko yang dihadapi oleh anak-anak dalam perencanaan iklim dan energi. Meski laporan ini tidak memasukkan potensi langkah mitigasi, UNICEF menegaskan pentingnya layanan seperti pendidikan dan kesehatan untuk menjadi “responsif terhadap guncangan, mudah dipindah, dan inklusif” guna mendukung anak-anak dan keluarga mereka menghadapi bencana dengan lebih baik. (*)