Barak.id – Pada tahun 2024, dunia seolah bergetar—bukan oleh gempa bumi atau letusan gunung api—melainkan oleh dentuman sunyi yang hanya bisa dirasakan para pemimpi dunia digital. Di balik layar, saat banyak orang menggantungkan harapan pada mata uang kripto untuk mengubah hidup mereka, ada tangan-tangan gelap yang perlahan mencuri harapan itu, senyap dan tanpa suara.
Angka-angka memang tak pernah menangis. Tapi manusia yang kehilangan semuanya karena ulah para peretas dari Korea Utara—mereka yang menggantungkan nasib di platform seperti WazirX, Indodax, atau DMM Bitcoin—mereka menangis. Mereka menjerit dalam diam. Tahun 2024, lebih dari 659 juta dolar AS atau sekitar Rp 10,6 triliun melayang begitu saja, tanpa pernah bisa disentuh lagi.
Laporan menyayat hati itu datang dari Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan. Tiga negara yang biasanya berselisih kepentingan, kini bersatu oleh satu luka: teror dunia maya yang datang dari kelompok Lazarus—nama yang kini tak cuma menakutkan, tapi juga memilukan.
Kelompok ini bukan nama baru. Mereka sudah menjadi bayangan kelam dalam dunia siber lebih dari satu dekade. Dan di tahun 2024, mereka kembali menghantam. Paling menyakitkan terjadi di Jepang, saat platform DMM Bitcoin kehilangan 308 juta dolar AS. Bukan cuma uang yang lenyap—kepercayaan pengguna pun ikut ambruk, dan platform itu harus menutup pintunya.
Di India, platform WazirX menjadi sasaran berikutnya. Sebanyak 235 juta dolar AS menguap dalam satu kedipan. Siapa yang bisa tidur nyenyak setelah kehilangan triliunan rupiah hanya karena klik yang salah, atau tautan yang tampak “terlalu nyata untuk tidak dipercaya”?
Lazarus tak beraksi sendirian. Mereka bukan sekadar peretas biasa. Mereka adalah aktor negara, penyusup yang menyamar sebagai orang baik, datang dengan tawaran pekerjaan, kolaborasi bisnis, bahkan obrolan akrab di LinkedIn atau Telegram. Mereka datang sebagai teman, tapi pergi membawa segalanya.
Biro Investigasi Federal (FBI) bahkan mengingatkan bahwa sejak September 2024, serangan sosial mereka menjadi makin canggih. Mereka menyusup lewat celah terkecil, berpura-pura menjadi sosok terpercaya, mengirimkan tautan penuh jebakan yang berujung malware seperti TraderTraitor dan AppleJeus. Korea Selatan dan Jepang pun mencatat pola yang sama.
Lebih dari sekadar pencurian, ini adalah perampasan masa depan. Orang-orang yang bekerja keras, menabung di platform kripto demi harapan lebih baik, kini harus memulai dari nol—bahkan ada yang tak sanggup memulai lagi.
Tak heran jika pernyataan bersama dari ketiga negara itu terdengar getir: “Kelompok Lazarus terus menunjukkan perilaku jahat di dunia maya. Mereka mencuri mata uang kripto, menyasar platform pertukaran, penyedia layanan aset digital, dan pengguna individu.”
Ironisnya, banyak perusahaan bahkan tidak sadar bahwa mereka sudah mempekerjakan tenaga IT dari Korea Utara—tanpa tahu bahwa mereka sedang memberi kunci brankas pada pencuri. (*)