BARAK.ID – Kisah perjuangan hukum Mbah Siyem (60) dan saudara-saudaranya dari Dusun Sarip, Desa Karangasem, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, menjadi sorotan setelah tanah warisan mereka berganti kepemilikan.
Tanah Warisan Mbah Siyem Bersaudara Seluas 1,7 Hektar Beralih Jadi Aset Desa di Grobogan
Tanah seluas 1,7 hektar yang turun-temurun diurus oleh keluarga ini, sejak wafatnya sang ayah, Kasman, pada 1965, kini berubah menjadi aset pemerintah Desa Karangasem.
Bangunan sekolah dasar dan kolam renang kini berdiri di atas lahan yang seharusnya menjadi bagian dari warisan mereka.
Keheranan dan kesedihan mendalam menyelimuti keluarga petani ini, diungkapkan oleh Mbah Siyem, “Kami hanya orang kecil yang ingin menuntut hak kami. Demi Allah, kami tak pernah menjual tanah warisan bapak kami.”
Dalam perjuangan mereka, mereka didampingi oleh kuasa hukumnya, M Amal Lutfiansyah, yang menjelaskan bahwa tanah tersebut telah menjadi pusat perselisihan sejak Pemdes Karangasem mengaku telah membeli tanah tersebut pada tahun 1970.
Menurut M Amal Lutfiansyah, yang mewakili keempat saudara tersebut, tanah tersebut seharusnya menjadi bagian dari warisan yang sah dari Kasman, yang meninggal pada 1965.
Namun, sertifikat atas tanah tersebut tiba-tiba beralih ke Pemdes Karangasem pada tahun 2022 melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), tanpa penjelasan yang jelas mengenai dasar dan proses peralihan yang tepat.
Proses hukum ini menjadi semakin kompleks dengan mediasi yang dilakukan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Grobogan pada pertengahan 2023.
Meskipun demikian, kejanggalan dalam proses peralihan hak kepemilikan dari Letter C milik Kasman menjadi milik Pemdes Karangasem tetap menjadi titik terang dalam perselisihan ini.
“Kami menduga ada penyalahgunaan kewenangan dalam pengalihan tanah ini. Pemdes mengklaim membeli tanah pada 1970, padahal Kasman sudah meninggal pada 1965. Hal ini merugikan klien kami yang notabene merupakan warga tidak mampu,” terang Lutfiansyah.
Di sisi lain, keluarga Siyem tetap berpegang pada harapan bahwa keadilan akan dipulihkan.
Mereka secara gigih memperjuangkan hak mereka melalui proses hukum yang mereka tempuh dengan penuh keyakinan.
Seperti yang diungkapkan oleh Siyem, “Kami hanya ingin keadilan. Tanah ini adalah warisan dari ayah kami, kami takkan menyerah begitu saja.”
Kasus ini menjadi cerminan dari berbagai konflik agraria yang masih terjadi di berbagai daerah di Indonesia, di mana hak kepemilikan tanah sering kali menjadi sengketa yang rumit dan sulit diselesaikan.
Baca Juga: Arti All Eyes on Rafah, Panggilan Menyayat Hati yang Menggema di Media Sosial
Bagi keluarga petani seperti Siyem dan saudaranya, tanah bukan sekadar aset material, melainkan juga identitas dan penopang keberlangsungan hidup mereka.
Pengacara keluarga, M Amal Lutfiansyah, menekankan pentingnya aspek keadilan dalam menanggapi kasus ini.
“Kami tidak hanya berjuang untuk hak klien kami, tetapi juga untuk prinsip keadilan yang harus ditegakkan dalam setiap transaksi properti dan pertanahan,” ujar dia.
Ia juga menambahkan bahwa proses hukum ini tidak hanya tentang memperjuangkan tanah secara fisik, tetapi juga untuk memastikan bahwa pihak yang berwenang bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Mbah Siyem dan saudara-saudaranya, dengan penuh harapan dan keyakinan, terus berjuang untuk mendapatkan keadilan atas tanah warisan yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup mereka.
Dalam pandangan mereka, tanah ini bukan hanya selembar dokumen atau objek hukum, tetapi juga warisan spiritual dan moral yang mereka harapkan dapat diteruskan kepada generasi berikutnya. (*)