“Sangat disesalkan karena orang-orang seperti ini hanya merusak budaya dengan berlindung di balik kata melestarikan budaya,” pungkasnya.
Fenomena Panglima Kijang dan Klaim Palsu Kebangsawanan
Fenomena Panglima Kijang ini bukan yang pertama kali terjadi di Kalimantan.
Sebelumnya, pernah muncul sosok-sosok lain yang juga mengaku sebagai panglima dengan gelar yang berbeda-beda, seperti Panglima Kumbang, Panglima Baong, dan Panglima Murai.
Insiden ini kembali menyorot aksi dugaan penyamaran identitas dan klaim palsu kebangsawanan yang kerap terjadi di masyarakat.
Penegakan hukum tegas diharapkan dapat memberikan efek jera dan mencegah terulangnya kasus serupa di kemudian hari.
Petualangan Panglima Kijang Berakhir?
Setelah insiden penghinaan terhadap Sultan Kutai Kartanegara dan kecaman dari berbagai pihak, banyak yang menduga bahwa petualangan Tarmizi alias Panglima Kijang telah berakhir.
Di media sosial, warganet memberikan komentar pedas atas tindakannya.
Akun Facebook Andreas Junaedy ApankBo mengunggah video saat Tarmizi meminta maaf kepada keluarga Sultan Kutai Kartanegara dengan komentar,
“Berakhir sudah petualangan si Kijang Kapsul Tarmizi main jadi panglima. Dapat bonus botol mineral terbang dari pangeran kutai gara-gara menghina sultan dan main jadi panglima dayak,” tulisnya.
“Pendatang ko mau jadi panglima dayak Kapsul kapsul dan Kijang Kapsul harus menuntut PBB yang melantiknya sebagai panglima dayak melalui internet,” imbuhnya.
Meski demikian, hingga saat ini belum banyak informasi yang dapat digali dari sosok Tarmizi yang mengaku sebagai Panglima Kijang.
Ia hanya dikenal luas setelah insiden penghinaan terhadap Sultan Kutai Kartanegara mencuat ke permukaan.
Baca Juga: Larangan Nobar Dianggap Berlebihan, Instagram Istri Hary Tanoesoedibjo Diserbu Kecaman Pedas Netizen
Sikap Tegas Kesultanan Kutai dan Upaya Perlindungan Budaya
Dalam menghadapi insiden ini, Kesultanan Kutai menunjukkan sikap tegas untuk melindungi martabat dan budaya masyarakat setempat.
Pangeran Kutai yang tampak geram dan melempar botol kepada Tarmizi atau Panglima Kijang merupakan bentuk kemarahan atas penghinaan yang dilontarkan terhadap ayahandanya, Sultan Kutai Kartanegara.
Tindakan Pangeran Kutai tersebut mendapat dukungan dari banyak kalangan yang menilai bahwa sikap tegas perlu diambil untuk memberi efek jera kepada pihak-pihak yang mencoba menghina dan merendahkan martabat pemimpin tertinggi di wilayah tersebut.
“Sudah sepantasnya kita bersikap tegas terhadap orang-orang yang mencoba menghina dan merendahkan budaya kita. Mereka harus sadar bahwa tindakan seperti itu tidak bisa ditolerir,” tulis Damang Mulia, warganet lainnya.
Baca Juga: Efransyah, Anak Durhaka di Aceh Pukuli Ibu Kandung Sampai Bonyok Karena Tak Dibelikan RX King
Damang menegaskan bahwa budaya dan adat istiadat masyarakat Dayak harus dijaga dan dilestarikan dengan baik.
Menurutnya, insiden yang melibatkan Panglima Kijang ini merupakan sebuah peringatan agar masyarakat lebih waspada terhadap kemungkinan adanya pihak-pihak yang mencoba merusak budaya dengan cara menyamar atau mengaku-ngaku sebagai bagian dari masyarakat adat.
“Kita harus bersikap selektif dan tidak mudah percaya begitu saja kepada orang-orang yang mengaku sebagai pemimpin adat atau panglima tanpa bisa menunjukkan bukti yang jelas dan valid,” imbuhnya.
Seruan untuk menjaga dan melestarikan budaya juga datang dari kalangan pemuda Dayak.
Mereka mengingatkan bahwa budaya merupakan warisan leluhur yang harus dijaga kelestariannya agar tidak punah ditelan zaman. (*)