“Biaya listrik yang saya subsidikan mencapai dua juta lebih setiap bulan. Saya sudah mencoba menawarkan solusi, menaikkan tarif air bersih, namun belum ada kesepakatan,” ungkap Sumedi.
Sebelum krisis, warga memang membayar Rp10.000 per kubik air, tarif yang dibagi rata untuk biaya listrik dan pemeliharaan.
Sumedi mengusulkan kenaikan menjadi Rp15.000, sebuah usulan yang masih hangat diperdebatkan di tengah komunitas yang terdampak.
Kini, dengan sumur bor terhenti dan sumur resapan menjadi satu-satunya sumber, harapan warga Cisuruk tertuju pada pemerintah Kota Cilegon.
Mereka mendesak pembuatan sumur bor komunal untuk mengatasi krisis air bersih yang telah menjadi kekhawatiran baru di tengah dinamika politik setempat. (*)