Namun, siapa sangka bahwa kue sederhana ini memiliki sejarah dan makna yang mendalam bagi masyarakat Bugis-Makassar? Pada era 1960-an, Apang Bugis adalah kue yang hanya bisa ditemukan saat ada acara-acara penting di perkampungan. Kehadirannya melambangkan harapan bagi masyarakat agar kehidupan mereka tenteram dan aman. Ia menjadi bagian dari prosesi sakral dan dinilai memiliki makna mendalam.
Dalam buku “Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki” karya Pepi AL-Bayqunie, disebutkan tentang ritual Songka’ Bala yang dilakukan oleh para bissu di Segeri, Pangkep. Ritual ini bertujuan untuk mengusir wabah penyakit. Selain ayam yang disembelih dan nasi berwarna, beberapa penganan khas Bugis turut disajikan, dan tentu saja, Apang Bugis menjadi salah satu yang utama.
Baca Juga: Dari Ombus-ombus hingga Pohul-Pohul, Inilah 5 Kuliner Tradisional Sumut yang Wajib Disantap
Tidak hanya itu, kue ini juga kerap hadir dalam berbagai acara penting lainnya bagi masyarakat Suku Bugis, seperti Menre’ Bola yang merupakan acara meminta perlindungan dan keselamatan saat menghuni rumah baru. Begitu juga dalam acara pernikahan dan aqiqah, Apang Bugis selalu hadir menyemarakkan suasana.
Tren yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa tradisi dan modernitas dapat berjalan beriringan. Apang Bugis, sebuah kue tradisional, mampu menunjukkan keunikan dan keotentikannya di tengah derasnya arus modernisasi. Di Makassar, kini kue ini tidak hanya menjadi bagian dari sejarah, namun juga bagian dari keseharian masyarakatnya. (*)