Ini akan memberikan tekanan tambahan pada anggaran dan keseimbangan fiskal nasional.
Tauhid menambahkan, pemerintah perlu lebih waspada dalam menjaga stabilitas harga pangan dan energi yang sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar.
Ia juga menyarankan agar strategi pengendalian impor dan diversifikasi sumber energi dipercepat sebagai langkah mitigasi.
Langkah Bank Indonesia Dinanti
Dalam situasi seperti ini, pasar tentu menanti reaksi dari Bank Indonesia (BI).
Selama ini, BI kerap menggunakan berbagai instrumen untuk menjaga kestabilan nilai tukar, mulai dari intervensi langsung di pasar valuta asing hingga menaikkan suku bunga acuan.
Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak BI mengenai respons kebijakan terhadap pelemahan rupiah yang cukup drastis ini.
BI diharapkan segera mengambil langkah-langkah yang kredibel dan terukur untuk menahan tekanan terhadap rupiah.
Komunikasi kebijakan yang jelas juga dibutuhkan agar pelaku pasar tidak panik.
Intervensi langsung melalui cadangan devisa bisa membantu meredam volatilitas jangka pendek, tetapi langkah jangka menengah dan panjang tetap harus diarahkan pada penguatan fundamental ekonomi nasional.
Tanda-tanda Ketidakstabilan Lebih Luas?
Kondisi pelemahan rupiah yang mencetak rekor terburuk sepanjang masa ini juga menimbulkan kekhawatiran akan potensi tekanan lanjutan pada pasar keuangan domestik.
Indeks harga saham gabungan (IHSG) pun sempat bergerak fluktuatif menyusul sentimen negatif di pasar valas.
Investor asing diketahui mulai mencatatkan net sell dalam jumlah signifikan sejak akhir pekan lalu.
Hal ini menambah tekanan ganda pada pasar modal dan mata uang secara bersamaan.
Jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat, kondisi ini bisa merembet ke sektor riil.
Dunia usaha akan menghadapi kenaikan biaya produksi, dan daya beli masyarakat bisa tergerus.
Efek domino ini tidak boleh dianggap remeh.
Pelemahan nilai tukar rupiah ke level Rp16.898 per dolar AS menjadi penanda serius bahwa perekonomian Indonesia tengah menghadapi tantangan berat di tengah turbulensi global.
Sebagai mata uang dengan performa terburuk di Asia hari ini, rupiah tidak hanya mencerminkan tekanan eksternal, tetapi juga menunjukkan pentingnya langkah cepat dan terkoordinasi dari otoritas moneter dan fiskal.
Pelaku pasar, dunia usaha, dan masyarakat kini menanti dengan cemas, langkah-langkah konkret dari Bank Indonesia dan pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi dan meredam gejolak yang bisa berdampak lebih luas.
Jika respons yang diberikan tidak cukup kuat, bukan tidak mungkin pelemahan rupiah ini akan berlanjut dan mengganggu pemulihan ekonomi nasional yang tengah berlangsung.
Dengan sentimen global yang masih rapuh dan risiko geopolitik yang belum reda, ke depan stabilitas nilai tukar rupiah akan sangat ditentukan oleh kebijakan dalam negeri yang proaktif, responsif, dan berbasis data yang kuat. (*)