Layar Ponsel Warga Korea Utara Discreenshot Diam-diam
Inilah kenyataan pahit yang diam-diam mengalir dalam kehidupan sehari-hari warga Korea Utara.
Sebuah laporan mengungkap kisah sunyi dari sebuah benda kecil yang selalu berada di genggaman: smartphone. Di negeri yang terkenal dengan kontrol ketat terhadap warganya, pemerintah ternyata telah menyisipkan sistem pengawasan tersembunyi di dalam perangkat buatan dalam negeri.
Tak tampak aneh dari luar, ponsel ini bahkan terlihat canggih—layar melengkung, desain modern, lubang kamera berbentuk huruf “U.” Siapa sangka, benda itu menyimpan rahasia yang mengerikan.
BBC, lewat investigasi terbarunya, berhasil mendapatkan satu unit ponsel tersebut. Dan apa yang mereka temukan membuat bulu kuduk merinding—ponsel ini memotret layar sendiri secara otomatis, setiap lima menit, tanpa ada pemberitahuan. Screenshot demi screenshot tersimpan diam-diam dalam folder rahasia, tersembunyi dari mata pemiliknya sendiri.
Bayangkan betapa sunyinya ketakutan itu. Setiap pesan, gambar, atau halaman web yang dibuka bisa saja menjadi bukti. Bukti bahwa kamu berpikir berbeda. Bukti bahwa kamu mencari sesuatu yang dianggap “tidak pantas.” Bukti yang mungkin bisa menghilangkan kebebasanmu—atau lebih buruk lagi.
Dari folder tersembunyi itu, ditemukan rekaman waktu pengambilan tangkapan layar: pukul 21.40, 21.45, 21.50… Dan terus berulang. Kadang jedanya panjang. Mungkin karena si pengguna sedang tak aktif. Tapi sistem ini tak pernah tidur sepenuhnya. Ia hanya menunggu. Mengintai dari balik layar yang kamu sentuh setiap hari.
Lebih dari sekadar pengawasan visual, ponsel ini juga diprogram untuk menyensor kata-kata yang dianggap tidak layak atau terlalu “asing.” Kata “Oppa,” misalnya—sapaan populer di budaya Korea Selatan—akan otomatis diganti menjadi “Comrade,” atau “Kawan.” Terasa hangat? Tidak. Terasa dingin, seperti dinding-dinding abu-abu yang menutup mulut dan pikiran.
Dan coba ketik “Korea Selatan”? Ponsel itu langsung membalas dengan “puppet state”—“negara boneka.” Sebuah frasa yang tak hanya menafikan, tapi juga mendikte cara berpikir. Apa yang boleh diketahui. Apa yang boleh dipercaya.
Tak ada kejelasan apakah ponsel ini digunakan oleh seluruh warga atau hanya di lingkungan tertentu. Tapi satu hal menjadi sangat terang: pemerintah Korea Utara tak main-main. Mereka ingin tahu. Mereka ingin mengontrol. Mereka ingin memastikan bahwa setiap warganya berjalan dalam satu jalur pikiran, satu cara pandang, satu suara—dan tanpa tanya.
Di tempat lain, ponsel adalah ruang pribadi. Tempat kita menyimpan kenangan, pesan cinta, mimpi-mimpi kecil. Tapi di Korea Utara, ponsel bisa jadi mata-mata. Diam-diam mencatat. Diam-diam menghakimi.
Di dunia tempat teknologi seharusnya membebaskan, ada sudut gelap di mana teknologi justru menjadi borgol. Dan dari balik layar kecil itu, ada jutaan suara yang tak terdengar—karena mereka tahu, setiap kata bisa saja menjadi kata terakhir yang mereka ucapkan dengan bebas. (*)