Jawabannya tidaklah sederhana, karena konsep “dibelenggu” dalam konteks ini dipahami berbeda-beda oleh para ulama.
Ada yang memaknainya secara harfiah, namun banyak pula yang melihatnya sebagai simbolis, menunjukkan bahwa kekuatan godaan setan memang berkurang, namun tidak sepenuhnya hilang.
Para ahli tafsir hadits, seperti Al-Halimi dan Badruddin Al-Aini, menyampaikan pandangan bahwa pembelengguan setan lebih kepada pengurangan kemampuan mereka untuk menggoda dan menyesatkan manusia, khususnya mereka yang berpuasa dengan memenuhi syarat dan rukunnya.
Adapun kemaksiatan yang masih terjadi di bulan Ramadhan, menurut sebagian ulama, bukan sepenuhnya karena godaan setan, melainkan karena faktor internal manusia itu sendiri, seperti nafsu dan kebiasaan buruk yang sudah melekat.
Oleh karena itu, meski setan dibelenggu, tantangan spiritual manusia tidak sepenuhnya lenyap.
Bulan Ramadhan menjadi momentum bagi setiap individu untuk meningkatkan kewaspadaan spiritual, mengekang nafsu, dan memperbaiki diri.
Baca Juga: Penetapan Awal Ramadan 2024 Menurut Pemerintah, NU, dan Muhammadiyah
Dengan begitu, esensi sebenarnya dari pembelengguan setan dapat terwujud, yaitu terciptanya lingkungan yang lebih kondusif untuk beribadah, berbuat baik, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Dalam konteks ini, Ramadhan bukan hanya tentang pembelengguan setan, tetapi juga tentang pembebasan diri dari belenggu kebiasaan buruk dan godaan nafsu yang sering kali membelenggu kita lebih erat dari pada setan itu sendiri.
Mari kita sambut dan jalani Ramadhan ini dengan hati yang bersih, jiwa yang siap bertransformasi, dan tekad yang kuat untuk menjadi versi terbaik dari diri kita. (*)