BIREUEN, BARAK.ID – Kawasan perairan Aceh, khususnya di Kabupaten Pidie, Aceh Utara, dan Bireuen, baru-baru ini menjadi saksi kedatangan gelombang pengungsi Rohingya. Namun, di tengah ketibaan mereka, terjadi penolakan dari sebagian warga, terutama di Kabupaten Bireuen.
KontraS Aceh Kritik Penolakan Pengungsi Rohingya di Bireuen
Antara tanggal 14 hingga 16 November 2023, sekitar 500 pengungsi Rohingya tiba di tiga wilayah di Provinsi Aceh. Namun, penerimaan mereka di Kabupaten Bireuen berakhir dengan penolakan.
Menurut Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, penolakan ini terjadi di Desa Pulo Pineung Meunasah Dua, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, pada Kamis, 16 November.
Azharul Husna, Koordinator KontraS Aceh, mengungkapkan bahwa hingga Sabtu pagi, kapal yang membawa sekitar 240 pengungsi Rohingya masih berlabuh di perairan Aceh. Husna menjelaskan bahwa meskipun kapal sempat mendarat di Desa Pulo Pineung Meunasah Dua, mereka akhirnya diminta untuk berlayar lagi, meskipun kondisi pengungsi, terutama anak-anak dan perempuan, sangat memprihatinkan.
“Warga sekitar berusaha memberikan makanan kepada kapal tersebut, tetapi kapal tetap diminta pergi,” ujar Husna.
Kapal pengungsi Rohingya kemudian mencoba mencari tempat lain untuk berlabuh di wilayah Aceh Utara, namun mereka juga mengalami penolakan serupa. Husna menyatakan bahwa penolakan semacam ini seharusnya tidak terjadi jika Indonesia memiliki peraturan yang komprehensif untuk menangani pengungsi.
Menurut Husna, Indonesia seharusnya meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 agar penanganan pengungsi dapat dilakukan dengan lebih baik. Ia juga menekankan bahwa tanggung jawab sepenuhnya harus diemban oleh pemerintah.
Sementara itu, pengungsi Rohingya yang tiba pada 14-15 November telah ditempatkan di kamp penampungan Mina Raya, Pidie.
Indonesia Tidak Berkewajiban Menampung Pengungsi
Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Lalu Muhammad Iqbal, mengingatkan bahwa Indonesia bukan pihak pada Konvensi Pengungsi 1951 dan tidak memiliki kewajiban untuk menampung pengungsi secara permanen.
“Penerimaan pengungsi selama ini semata-mata berdasarkan pertimbangan kemanusiaan. Ironisnya, banyak negara yang merupakan pihak dalam konvensi tersebut justru menutup pintu dan menerapkan kebijakan push back terhadap para pengungsi,” ujarnya.
Menurut Iqbal, penampungan yang diberikan oleh Indonesia selama ini bahkan dimanfaatkan oleh jaringan penyelundup manusia yang mencari keuntungan finansial dari pengungsi, tanpa memedulikan risiko yang dihadapi oleh pengungsi, terutama perempuan dan anak-anak.
Baca Juga: Kasar! Bantuan Makanan Warga Bireuen Dibuang Rohingya ke Laut
Sebelumnya, Polda Aceh mengonfirmasi adanya penolakan dari warga terhadap pengungsi Rohingya yang akan berlabuh di Bireuen. Alasan penolakan tersebut antara lain karena perilaku kurang baik dan ketidakpatuhan terhadap norma-norma masyarakat setempat yang pernah ditunjukkan oleh sebagian pengungsi Rohingya yang terdampar sebelumnya.
Warga setempat bersedia memberikan bantuan makanan, minuman, dan bahan bakar minyak, serta menyediakan perahu untuk mengembalikan kapal pengungsi ke laut. Namun, lima pengungsi Rohingya yang dalam kondisi lemah dan membutuhkan perawatan medis telah diungsikan ke Gedung SKB Cot Gapu, Bireuen, oleh pihak Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pengungsi (United Nations Refugee Agency/UNHCR).
Polda Aceh juga mengimbau agar warga setempat tidak bertindak anarkis dan tetap memperlakukan pengungsi dengan baik dalam penanganan mereka. (*)