BARAK.ID – Di tengah keindahan Danau Toba, sebuah ikon baru telah lahir sebagai penghubung antara Pulau Sumatera dan Pulau Samosir, yakni Jembatan Aek Tano Ponggol Dalihan Natolu.
Jembatan Aek Tano Ponggol Samosir: Filosofi Dalihan Na Tolu di Balik Megahnya Pintu Gerbang Pariwisata
Tak sekadar menjadi jembatan fisik, struktur ini mengemban misi menghubungkan masa lalu yang kaya sejarah dengan masa depan yang penuh harapan, serta menjadi katalisator pengembangan pariwisata di Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara.
Jembatan Aek Tano Ponggol Dalihan Natolu, yang merajut Pulau Sumatera dengan Pulau Samosir di tengah Danau Toba, bukan sekadar infrastruktur, melainkan sebuah simbol persatuan, keadilan, dan gerbang baru menuju kemajuan pariwisata Kabupaten Samosir.
Dibangun dengan filosofi ‘Dalihan Na Tolu’, jembatan ini menjanjikan lebih dari sekedar perjalanan dari satu tepi ke tepi lain; ia menawarkan perjalanan melintasi sejarah, budaya, dan visi untuk masa depan.
Sejarah
Awalnya, Tano Ponggol merupakan sebuah kanal yang dibangun di era kolonial, berfungsi sebagai pemisah antara Pulau Sumatera dan Pulau Samosir.
Dengan waktu, kanal ini mengalami pendangkalan yang signifikan, membatasi aktivitas perkapalan di sekitar Danau Toba.
Inisiatif untuk mengubah narasi ini dimulai pada medio 1980-an dengan renovasi menggunakan konstruksi beton, namun tantangan tetap ada.
Transformasi besar terjadi ketika Kementerian PUPR mengalokasikan dana sebesar Rp 157 miliar dari APBN untuk membangun kembali jembatan dan melebarkan kanal.
Pengerjaan yang rampung pada Desember 2022 ini tak hanya meningkatkan aksesibilitas tetapi juga memperkaya potensi pariwisata daerah tersebut.
Arsitektur dan Desain
Jembatan Aek Tano Ponggol dibangun dengan mengusung filosofi lokal ‘Dalihan Na Tolu’, yang merupakan inti dari keadilan sosial masyarakat Batak.
Filosofi ini terwujud dalam desain jembatan, di mana tiga penyangga utama bercat merah melambangkan tungku berkaki tiga, sebuah simbol keseimbangan dan kesatuan dalam kehidupan masyarakat Batak.