SUMENEP, BARAK.ID – Bertengger di bukit Desa Kebon Agung, Sumenep, Asta Tinggi menyuguhkan kisah menarik sebagai tempat peristirahatan akhir para bangsawan Keraton Sumenep. Situs bersejarah yang telah melintasi tiga zaman pembangunan ini, berdiri sebagai saksi bisu kebesaran Keraton Sumenep sejak abad ke-17.
Bermula pada era Panembahan Somala, pengembangan Asta Tinggi diteruskan oleh Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I hingga Panembahan Natakusuma II. Letaknya hanya sekitar 2,5 kilometer ke arah barat dari pusat Keraton Sumenep, menjadikannya mudah diakses bagi pengunjung.
Perpaduan Arsitektur Multikultural di Asta Tinggi
Keunikan Asta Tinggi bukan hanya sekedar sebagai tempat bersejarah, tetapi juga sebagai situs cagar budaya provinsi yang diakui oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. SK Nomor: 188/250/KPTS/013/2014 menjadi penegasan resmi dari status tersebut.
Baca Juga: Kuntilanak, Mitos Hantu Perempuan Menyeramkan yang Terlanjur Berakar di Masyarakat
Memasuki area kompleks pemakaman seluas 112,2 meter x 109,25 meter, mata akan tertuju pada tembok batu kapur rapi yang menjadi pembatas. Menariknya, tembok tersebut dirancang tanpa campuran semen dan pasir. Legenda masyarakat setempat mengisahkan, kekuatan mistis tembok ini bisa membuat burung yang melintasi wilayah pemakaman tersebut jatuh.
Sejalan dengan jejak sejarahnya, arsitektur di Asta Tinggi menggabungkan estetika dari berbagai penjuru dunia; mulai dari Belanda, Arab, China, hingga unsur lokal Jawa. Meskipun bermacam gaya terintegrasi, sentuhan kebudayaan Hindu masih kentara.