Barak.id – Langkah besar diambil Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) di bawah kepemimpinan Erick Thohir. Sang Menteri sekaligus Ketua Umum PSSI memastikan bahwa induk organisasi sepak bola nasional itu tak lagi mendapat kucuran dana dari pemerintah, khususnya untuk turnamen tunggal. Keputusan ini diambil setelah pertemuan dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Selasa (23/9/2025).
Dalam keterangannya, Erick menegaskan transparansi dana APBN menjadi prioritas utama. “Untuk PSSI, kami tidak bisa mendapatkan pendanaan dari pemerintah, khususnya single event. Untuk multi event nanti akan dicek lebih lanjut oleh BPK, karena itu melibatkan semua cabang olahraga,” ujarnya.
Pernyataan ini menandai pergeseran besar PSSI, organisasi yang selama bertahun-tahun dianggap “anak emas” olahraga Indonesia, kini harus berdiri lebih mandiri.
Dari ‘Cabor Strategis’ ke Mandiri Finansial
Pada April 2025 lalu, PSSI masih menerima bantuan dana pemerintah tahap pertama bersama 12 cabang olahraga lain. Bahkan, sepak bola mendapat porsi terbesar hampir Rp200 miliar untuk mendukung Pelatnas dan program strategis lainnya.
Dukungan itu sejatinya berakar dari Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Sepak Bola Nasional. Menpora kala itu, Dito Ariotedjo, bahkan menyebut sepak bola sebagai cabang olahraga strategis dengan target besar: membawa Indonesia menembus Piala Dunia di setiap level, dari U-17 hingga senior.
Tak hanya untuk timnas, dana tersebut juga mengalir ke pengembangan wasit, pelatih, futsal, sepak bola wanita, hingga sepak bola pantai. Singkatnya, PSSI kala itu memegang peran sentral sekaligus istimewa dalam alokasi anggaran.
Siapkah PSSI?
Kini, dengan pintu dana APBN ditutup untuk single event, PSSI menghadapi tantangan baru. Tanpa “infus” dari pemerintah, PSSI harus memutar otak mencari model pendanaan yang berkelanjutan. Sponsor swasta? Hak siar? Atau menggali potensi bisnis sepak bola yang selama ini sering disebut “tidur panjang”?
Pertanyaannya sederhana, apakah PSSI siap hidup tanpa subsidi negara?
Langkah ini bisa jadi momentum emas untuk membuktikan bahwa sepak bola Indonesia bisa dikelola secara profesional, transparan, dan berorientasi pada industri.
Namun di sisi lain, risiko kegagalan juga besar jika manajemen finansial tidak dibarengi dengan tata kelola yang sehat.
Kebijakan ini tak hanya soal uang, tapi juga soal kepercayaan publik. Erick Thohir menekankan bahwa tugas terpentingnya bukan sekadar membenahi PSSI, melainkan seluruh olahraga Indonesia.
Itu berarti sepak bola tak lagi boleh jadi “anak manja” yang selalu mendapat prioritas. (*)