BARAK.ID – Dalam dunia investasi, banyak orang terjebak dalam upaya memprediksi waktu terbaik untuk membeli atau menjual aset—sebuah strategi yang dikenal sebagai timing the market.
Namun, sejarah dan penelitian menunjukkan bahwa pendekatan time in the market, atau tetap bertahan dalam pasar dalam jangka panjang, justru lebih menguntungkan.
Artikel ini akan membahas mengapa prinsip ini menjadi kunci kesuksesan investasi, didukung data, contoh nyata, dan strategi implementasinya.
Artikel Terkait: Emosi Investor Pemula Bisa Bikin Pasar Saham Hancur dalam Semalam
Memahami Konsep: “Time in the Market” vs. “Timing the Market”
Apa Itu “Time in the Market”?
Time in the market merujuk pada strategi investasi jangka panjang di mana investor tetap bertahan di pasar meskipun menghadapi volatilitas.
Prinsip ini mengutamakan durasi investasi yang panjang untuk memanfaatkan pertumbuhan ekonomi dan compounding return.
Apa Itu “Timing the Market”?
Timing the market adalah upaya memprediksi naik-turunnya harga aset untuk membeli di titik terendah dan menjual di puncak.
Strategi ini bergantung pada analisis teknis, sentimen pasar, atau faktor eksternal, namun sering kali sulit diimplementasikan secara konsisten.
Mengapa “Time in the Market” Lebih Efektif?
1. Data Empiris: Kinerja Investor yang Gagal “Timing the Market”
Studi oleh Dalbar Inc. (2023) mengungkapkan bahwa investor ritel yang mencoba timing the market hanya meraih return tahunan rata-rata 5,8% dalam 30 tahun terakhir, jauh di bawah return S&P 500 yang mencapai 10,7%.
Kesalahan prediksi dan biaya transaksi yang tinggi menjadi penyebab utama.
2. Kekuatan Compounding Return
Albert Einstein menyebut compounding sebagai “keajaiban dunia kedelapan.”
Misalnya, investasi Rp100 juta dengan return tahunan 10% akan tumbuh menjadi Rp672 juta dalam 20 tahun.
Namun, jika investor keluar pasar selama 5 tahun terbaik (misalnya 2009-2013), portofolionya hanya mencapai Rp450 juta—33% lebih rendah.
3. Mengurangi Dampak Emosi
Investasi jangka panjang mengurangi keputusan impulsif akibat rasa takut (fear) atau keserakahan (greed).
Psikolog Daniel Kahneman dalam bukunya Thinking, Fast and Slow menjelaskan bahwa emosi sering mendorong keputusan buruk, seperti menjual saat pasar anjlok atau membeli saat harga sedang tinggi.
4. Biaya Transaksi dan Pajak yang Lebih Rendah
Aktivitas trading频繁 (sering beli-jual) meningkatkan biaya komisi, spread, dan pajak keuntungan modal.
Sebaliknya, investasi pasif seperti reksa dana indeks atau ETF memiliki biaya lebih rendah, sehingga return bersih lebih optimal.
Risiko dan Kelemahan “Timing the Market”
1. Ketidakpastian Pasar yang Tidak Terduga
Pasar keuangan rentan terhadap faktor tak terduga seperti pandemi, perang, atau kebijakan moneter.