JAKARTA, BARAK.ID – Putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat batas usia calon presiden dan calon wakil presiden menciptakan perdebatan yang sengit, khususnya mengenai kecepatan keputusan tersebut.
Putusan MK Mengenai Batas Usia Capres
Sebelumnya, MK memutuskan bahwa syarat batas usia calon presiden dan calon wakil presiden telah diubah. Keputusan ini muncul setelah uji materiil yang diajukan oleh seorang mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS), Almas Tsaqibbirru Re A Almas. Almas mengusulkan agar calon presiden dan calon wakil presiden berusia minimal 40 tahun atau pernah menjabat sebagai kepala daerah.
Dari sembilan hakim konstitusi yang hadir, empat di antaranya memiliki pandangan berbeda atau ‘dissenting opinion’. Keempat hakim tersebut adalah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.
Saldi Isra, salah satu hakim konstitusi, mengungkapkan kebingungannya terhadap keputusan MK yang berubah dengan begitu cepat. Menurut Saldi, ini adalah peristiwa yang luar biasa dan aneh dalam pengalamannya selama enam setengah tahun menjadi hakim konstitusi. “Sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, baru kali ini saya mengalami peristiwa ‘aneh’ yang ‘luar biasa’,” ungkap Saldi.
Kontroversi ini bermula dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU XXI/2023, di mana MK dengan tegas menyatakan bahwa masalah usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah kewenangan pembentukan Undang-Undang untuk mengubahnya. Meski begitu, dengan cepat, putusan ini berubah di perkara berikutnya yang memiliki kaitan dengan norma yang sama.
Baca Juga: Permohonan Uji Materiil Batas Usia Capres-Cawapres Ditolak MK, Gibran: Ya Ndak Papa
Saldi juga menyoroti bagaimana rapat musyawarah hakim (RPH) pada 19 September 2023 memutuskan perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023. Saat itu, enam dari sembilan hakim sepakat untuk menolak permohonan. Namun, dalam RPH berikutnya yang masih terkait dengan norma yang sama, beberapa hakim yang sebelumnya menolak, tiba-tiba menunjukkan ketertarikan dengan model alternatif yang diajukan dalam perkara petitum 90/PUU-XXI/2023.
Kecepatan perubahan sikap dan keputusan ini menciptakan keraguan bagi beberapa pihak. Menurut Saldi, meski model alternatif yang diajukan oleh pemohon dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum dalam putusan sebelumnya, permohonan tersebut sebenarnya berfokus pada pengalaman sebagai kepala daerah, dengan mengambil contoh keberhasilan Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka. (*)