BARAK.ID – Di sebuah desa terpencil di Republik Demokratik Kongo, terdapat Feza, seorang ibu tunggal yang menggantungkan hidupnya pada tanaman ganja.
Menyambung Hidup dengan Ganja: Kisah dari Suku Kongo
Feza dengan cekatan menggulung daun ganja, sebuah keterampilan yang ia pelajari untuk bertahan hidup.
Ketika ditanya apakah dirinya sering mengisap ganja, jawaban Feza datang dalam bentuk senyuman samar saat dia melanjutkan pekerjaannya.
Penggunaan ganja sebenarnya bukan hal baru bagi manusia.
Selama ratusan tahun, tanaman ini telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Namun, semuanya berubah pada tahun 1961 ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa, didorong oleh tekanan dari Amerika Serikat, menggolongkan ganja sebagai narkotika ilegal.
Keputusan ini memaksa banyak negara untuk melarangnya.
Akibatnya, ganja menjadi komoditas bernilai tinggi, menarik minat organisasi kriminal besar yang kemudian menguasai bisnis ganja dari tangan rakyat biasa.
Namun, situasi di Republik Demokratik Kongo sedikit berbeda.
Negara luas di tengah Afrika ini kurang mendapat perhatian mengenai perdagangan ganja.
Para penjahat besar dan milisi lebih sibuk dengan penambangan dan ekspor mineral langka seperti emas dan coltan, sehingga ganja yang tumbuh subur di seluruh negeri dibiarkan menjadi tanaman rakyat.
Di Kongo, ganja yang ilegal memiliki nilai lebih tinggi daripada sayuran biasa seperti kacang atau kentang.
Ini membuat ganja menjadi tanaman komersial penting bagi rakyat biasa.
Di pegunungan Kongo Timur, terdapat sekelompok suku Pygmy, salah satu kelompok masyarakat termiskin di negara yang sangat miskin ini.
Suku Pygmy secara historis adalah masyarakat nomaden yang hidup di hutan, berburu, mengumpulkan, dan menanam tanaman cepat panen untuk bertahan hidup.
Namun, perang berkepanjangan di Kongo dan realitas masyarakat modern memaksa mereka untuk menetap dan mengubah cara hidup mereka.
Kini, ganja yang telah mereka hisap selama berabad-abad, dikenal sebagai “bongi”, mungkin menjadi kunci keberlangsungan hidup mereka.
Desa Uti, terletak di lereng gunung di Provinsi Kivu Utara, adalah rumah bagi suku Pygmy.
Aaron Mahand, kepala desa sekaligus pemburu utama, bercerita lebih banyak tentang kehidupan mereka.
Aaron menunjukkan perangkap sederhana yang ia buat untuk menangkap hewan, metode kuno yang masih ia gunakan hingga kini.
Veruna National Park, kawasan lindung seluas 3.000 km² di Kongo Timur, dulunya adalah rumah dan lahan berburu tradisional bagi suku Pygmy.
Namun, perang panjang di Kongo mengubah taman nasional ini menjadi tempat persembunyian dan markas milisi bersenjata.
Pygmy yang tinggal di dalam taman atau berburu di sana dipaksa keluar ketika pemerintah Kongo menutup Veruna untuk menghindari perburuan liar dan mencegah milisi menggunakan taman sebagai basis operasi mereka.
Suku Pygmy kini tinggal dalam kondisi sangat sulit.
Persepsi mereka sebagai warga kelas dua telah mengakar dalam sejarah kolonial abad ke-19, di mana teori evolusi rasis menganggap Pygmy sebagai manusia proto atau mata rantai yang hilang antara manusia dan kera.
Pada tahun 1904, sekelompok Pygmy bahkan dibawa ke Pameran Dunia di St. Louis dan salah satu dari mereka dipamerkan di kebun binatang Bronx sebagai “penghuni rumah monyet”.
Meskipun banyak masyarakat Kongo masih menganggap Pygmy sebagai warga kelas dua, sebutan “Pygmy” sendiri dianggap oleh banyak orang sebagai istilah merendahkan.
Tanpa lahan untuk bercocok tanam dan hidup di pinggiran masyarakat, suku Pygmy adalah salah satu kelompok yang paling rentan di planet ini.