BARAK.ID — Dalam beberapa tahun terakhir, Kamboja semakin sering disebut dalam laporan internasional terkait maraknya perdagangan manusia (human trafficking) dan operasi skema penipuan (scam) serta perjudian online ilegal.
Mengapa Kamboja menjadi Surga Jaringan Kejahatan Internasional?
Meski pemerintah mengklaim telah melakukan upaya penindakan, praktik-praktik ini masih terus berkembang, bahkan diperkirakan melibatkan puluhan ribu korban dari dalam dan luar negeri.
Laporan ini mengupas akar persoalan, tantangan, serta respons otoritas setempat dalam menangani krisis multidimensi yang merusak reputasi dan stabilitas negara.
Lingkaran Korupsi dan Keterlibatan Aparat
Investigasi oleh organisasi hak asasi manusia, termasuk Human Rights Watch (HRW) dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), mengungkap bahwa jaringan perdagangan manusia, perjudian dan scam online di Kamboja sering kali dilindungi oleh oknum aparat keamanan, politisi, dan elite berpengaruh.
Suap, bagi hasil, dan ancaman menjadi mekanisme yang memastikan operasi kriminal tetap berjalan.
Pada 2022, misalnya, sebuah laporan HRW menyebut kompleks scam di Sihanoukville — kota pesisir yang pernah menjadi pusat perjudian — dikelola oleh sindikat yang memiliki hubungan dengan pejabat militer setempat.
Di sini, ditemukan kasus di mana polisi justru mengawal pengiriman korban ke lokasi eksploitasi.
Keterlibatan elite politik juga diyakini menjadi penghambat utama penegakan hukum.
Menurut Global Initiative Against Transnational Organized Crime, beberapa perusahaan yang mengelola pusat scam online memiliki hubungan dengan pemilik modal dekat lingkaran kekuasaan.
Ini bisnis yang sangat menguntungkan, dan mereka yang terlibat sering kali kebal hukum.
Dilema Ekonomi: Antara Pendapatan dan Eksploitasi
Kamboja, dengan pendapatan per kapita sekitar \$1.800 (2023), masih bergulat dengan kemiskinan struktural.
Sektor informal, termasuk perjudian dan industri ilegal, menjadi sumber lapangan kerja dan devisa — meski dengan konsekuensi kemanusiaan yang berat.
Sebelum larangan perjudian online pada 2019, industri ini menyumbang sekitar 10% dari PDB Kamboja.
Meski dilarang, praktiknya berlanjut di bawah tanah atau melalui “zona ekonomi khusus” (Special Economic Zones/SEZ) yang diatur longgar.
Di SEZ seperti Sihanoukville dan Poipet, ratusan gedung diubah menjadi “pusat operasi scam” yang merekrut pekerja dari China, Vietnam, Indonesia, dan Malaysia dengan janji pekerjaan legal.
Ketika sektor pariwisata dan manufaktur lesu akibat pandemi, pemerintah secara tidak langsung membiarkan aktivitas ilegal ini mengisi kekosongan ekonomi.
Kerangka Hukum Lemah dan Penegakan yang Setengah Hati
Meski memiliki undang-undang anti-trafficking sejak 2008, implementasinya terbukti tidak memadai.
Laporan U.S. State Department’s Trafficking in Persons (TIP) Report 2022 menempatkan Kamboja di Tier 3 — kategori terburuk — karena gagal memenuhi standar minimum penanganan perdagangan manusia.
Kendala utama terletak pada kapasitas aparat. Polisi dan jaksa sering kali tidak terlatih menangani kasus lintas negara atau teknologi digital.
Selain itu, korban — terutama dari luar negeri — kerap enggan melapor karena takut dideportasi atau diintimidasi jaringan kejahatan.
Banyak korban yang dipaksa bekerja 18 jam sehari, disiksa, dan tidak dibayar. Tapi ketika mereka melarikan diri, pihak berwenang justru menangani mereka sebagai pelanggar visa, bukan korban kejahatan.
Jaringan Transnasional dan Modus Operasi yang Semakin Canggih
Industri scam dan perdagangan manusia di Kamboja didominasi oleh sindikat internasional, terutama dari China.
Menurut Interpol, setidaknya 200.000 orang di Asia Tenggara menjadi korban scam online berbasis di Kamboja, Laos, dan Myanmar pada 2022-2023.
Modusnya beragam: korban direkrut melalui tawaran kerja palsu di media sosial, kemudian paspor mereka disita, dan dipaksa melakukan penipuan investasi, romance scam, atau pemerasan via telepon.
Beberapa korban bahkan dijual antar sindikat seharga \$10.000-\$20.000 per orang.
Pemerintah Kamboja kesulitan membongkar jaringan ini karena mereka beroperasi seperti perusahaan legal, dilengkapi sistem keamanan dan IT yang canggih.
Upaya Penertiban dan Kritik atas Sikap Reaktif
Tekanan internasional memaksa pemerintah Kamboja bertindak.
Pada 2023, otoritas menggerebek puluhan kompleks scam di Sihanoukville dan Phnom Penh, membebaskan ribuan korban, serta mendeportasi lebih dari 500 warga asing terlibat.
Otoritas dalam negeri tersebut juga mengumumkan pembentukan satuan tugas anti-trafficking.
Namun, langkah ini dinilai sekadar pencitraan. Operasi ini hanya menyasar sindikat kecil. Para bos besar tetap bebas, dan aktivitas bisa pindah lokasi dalam hitungan minggu.
Ketiadaan perlindungan bagi korban juga menjadi masalah. LSM lokal melaporkan, banyak korban asing yang justru dikriminalisasi atau dipulangkan tanpa pendampingan.
Sementara korban warga Kamboja — terutama perempuan dan anak dari pedesaan — jarang mendapat perhatian media.
Jalan Panjang Menuju Reformasi Sistemik
Para pakar menyatakan bahwa solusi jangka panjang memerlukan perubahan struktural. Pertama, pemberantasan korupsi yang menjadi akar masalah.
Kedua, revisi undang-undang untuk memperberat hukuman bagi pelaku trafficking dan scam. Ketiga, kerja sama regional untuk memutus rantai sindikat transnasional.
Kamboja tidak bisa bertindak sendiri. ASEAN perlu membuat kerangka hukum bersama dan berbagi sumber daya intelijen.
Di tengah kompleksitas ini, nasib ribuan korban tetap menggantung.
Seperti dikatakan seorang korban asal Indonesia yang berhasil melarikan diri dari kompleks scam di Kamboja: “Mereka seperti hantu. Pemerintah tahu kami ada di sana, tapi tidak ada yang bertindak sampai tekanan internasional datang.”
Krisis perdagangan manusia dan scam online di Kamboja adalah cermin dari kegagalan tata kelola, kesenjangan ekonomi, dan kerentanan global terhadap kejahatan terorganisir. Tanpa komitmen politik yang genuin, upaya penanganan hanya akan menjadi sandiwara yang berulang.
Sumber: HRW, UNODC, U.S. TIP Report 2022, dan sumber resmi pemerintah Kamboja.