BARAK.ID – Ketiadaan kedamaian di Pulau Rempang, akibat bentrok antara warga dan polisi, telah memicu sorotan nasional atas rencana mega investasi yang diperkenalkan oleh Pemerintah Republik Indonesia bersama China.
Konflik Tanah Rempang
Pemerintah Indonesia, dalam upayanya menggerakkan roda ekonomi, berencana mendirikan kawasan industri berlabel “Rempang Eco-City“. Kawasan industri ini akan menampung fasilitas produksi kaca dan panel surya raksasa yang dikelola oleh perusahaan Tiongkok, Xinyi Glass. Tujuannya, memanfaatkan pasir kuarsa yang menjadi kekayaan pulau tersebut dan sekaligus sebagai komponen vital dalam produksi kaca dan panel surya.
Ariastuty Sirait, sebagai juru bicara BP Batam, menjelaskan bahwa proyek kolaborasi ini melibatkan Otoritas Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam), perusahaan lokal PT Makmur Elok Graha, serta Xinyi Glass. “Investasi total diperkirakan mencapai $24,6 miliar dengan potensi penciptaan 306.000 lapangan kerja di tahun 2080,” ungkapnya.
Baca Juga: Sejarah Hitler yang Masih Membayangi Dunia Modern dan Rahasia Gelapnya di Era Nazi
Namun, rencana ambisius ini menuntut pengorbanan. Sekitar 7.500 warga pulau seluas 17.000 hektare harus mengosongkan tanah mereka. Banyak di antara mereka adalah bagian dari komunitas adat.
Tindakan pemerintah yang meminta warga untuk meninggalkan pulau pada Agustus lalu menimbulkan ketegangan. Protes berujung pada bentrok, mengakibatkan puluhan orang terluka dan ditahan atas dugaan vandalisme dan kekerasan. Reuters melaporkan bahwa pertemuan massa dan aparat terakhir kali terjadi tiga minggu yang lalu, di mana polisi menggunakan gas air mata dan peluru karet. Keputusan ini mendapat banyak kecaman atas penggunaan kekuatan yang dinilai berlebihan.
Komnas HAM turut angkat bicara, mengklaim adanya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh petugas di lapangan.
Presiden Joko Widodo, yang meresmikan kesepakatan Rempang Eco-City selama kunjungannya ke Chengdu, China, pada Juli lalu, menempatkan proyek ini sebagai “proyek strategis nasional” pada Agustus.
Para analis berpendapat bahwa Presiden Jokowi melihat potensi besar dalam menarik investasi dari China, yang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia. Abdul Rahman Yaacob, peneliti dari Lowy Institute di Sydney, menekankan Layanan Korea bahwa perhatian utama harus pada dampak lingkungan dan penduduk lokal.
Andreyka Natalegawa, peneliti dari Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), menegaskan kekhawatiran terkait rencana penggusuran. Ia menyebut dampak proyek ini pada HAM, lingkungan, dan keamanan manusia setempat perlu menjadi perhatian.
Namun pemerintah tak tinggal diam. Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi/Kepala BKPM, mengumumkan insentif bagi warga yang bersedia pindah dan memastikan hak-hak mereka terlindungi. Rencana pemindahan akan dilakukan ke bagian lain Pulau Rempang dengan kompensasi yang telah disepakati.
Baca Juga: Jejak Sejarah Panjang Konflik Palestina-Israel: Akar, Perkembangan, dan Tantangan Perdamaian
Meskipun demikian, tidak semua warga terkesan. Mereka menuntut pemerintah mengakui hak tanah leluhur mereka. Di tengah kecaman dan tuntutan, pemerintah berhadapan dengan dilema besar antara kemajuan ekonomi dan hak-hak masyarakat adat.
Polemik ini menjadi cermin bahwa pembangunan ekonomi harus seimbang dengan pemenuhan hak-hak warga. Bagaimana kelanjutan kisah ini, hanya waktu yang bisa menjawab. (*)