BARAK.ID – Pasar saham merupakan barometer kesehatan ekonomi suatu negara.
Namun, sejarah mencatat bahwa dalam beberapa kasus, kepanikan massal di kalangan investor memaksa bursa efek global untuk mengambil langkah ekstrem: menutup perdagangan sementara atau bahkan sehari penuh.
Pasar Saham Pernah Ditutup Karena Panik Massal
Penutupan ini bukan tanpa alasan—kepanikan massal dapat memicu kerugian besar, destabilisasi sistem keuangan, dan krisis kepercayaan yang berkepanjangan.
Artikel ini akan mengulas momen-momen bersejarah ketika pasar saham ditutup akibat panik massal, faktor penyebab, dampaknya, serta pelajaran berharga bagi investor dan regulator.
Artikel Terkait: Wow! Tanah ‘Hantu’ di Dunia Maya Kini Bernilai Miliaran
Mengapa Panik Massal Terjadi di Pasar Saham?
Panik massal di pasar saham umumnya dipicu oleh ketidakpastian ekstrem yang mengganggu keseimbangan permintaan dan penawaran.
Faktor pemicunya beragam, mulai dari krisis geopolitik, bencana alam, kebijakan moneter kontroversial, hingga gelembung aset yang pecah.
Ketika sentimen negatif mendominasi, investor cenderung melakukan sell-off besar-besaran untuk menghindari kerugian lebih dalam.
Akibatnya, indeks saham anjlok, likuiditas mengering, dan mekanisme pasar gagal berfungsi normal.
Dalam situasi seperti ini, bursa efek seringkali mengaktifkan circuit breaker—mekanisme penghentian sementara perdagangan—untuk mencegah kehancuran lebih parah.
Namun, ketika kepanikan melampaui batas toleransi, penutupan pasar menjadi opsi terakhir.
Momen Bersejarah Penutupan Pasar Saham Akibat Panik Massal
1. Black Monday 1987: Crash Terbesar dalam Sejarah Modern
Pada 19 Oktober 1987, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) AS terjun bebas 22,6% dalam satu hari—penurunan persentase terbesar sepanjang sejarah.
Kepanikan investor dipicu oleh kombinasi faktor, termasuk overvaluasi saham, kekhawatiran inflasi, dan penggunaan perdagangan algoritmik yang belum matang.
Bursa saham di Hong Kong, Singapura, dan Australia terpaksa ditutup selama beberapa hari untuk mencegah kerugian sistemik.
2. Serangan 11 September 2001: Bursa AS Ditutup selama 4 Hari
Setelah serangan teroris di AS pada 11 September 2001, New York Stock Exchange (NYSE) dan Nasdaq menghentikan perdagangan hingga 17 September.
Penutupan ini bertujuan menstabilkan situasi dan mencegah kepanikan yang bisa memperparah krisis kepercayaan.
Meski perdagangan akhirnya dibuka kembali, indeks DJIA masih terkoreksi 14% dalam sepekan.
3. Krisis Keuangan 2008: Kepanikan Global dan Likuiditas yang Hilang
Kebangkrutan Lehman Brothers pada September 2008 memicu krisis likuiditas global.
Bursa saham di Rusia dan Indonesia sempat ditutup sementara akibat tekanan jual yang ekstrem.
Di AS, meski tidak ditutup sepenuhnya, volatilitas memaksa aktivasi circuit breaker berkali-kali.
4. Pandemi COVID-19 (2020): Circuit Breaker Terpicu Berkali-kali
Pada Maret 2020, ketakutan akan resesi global akibat pandemi COVID-19 menyebabkan indeks S&P 500 anjlok 7% dalam hitungan menit setelah pembukaan pasar.