BARAK.ID – Nama Dimas Kanjeng Taat Pribadi sempat menggemparkan publik Indonesia beberapa tahun silam. Sosok yang dikenal luas sebagai tokoh spiritual dengan kemampuan menggandakan uang ini ternyata menyimpan serangkaian praktik penipuan terorganisir yang melibatkan ribuan pengikut dan merugikan banyak pihak secara finansial. Fenomena ini menjadi salah satu kasus penipuan terbesar di Indonesia dengan kedok dukun.
Berikut adalah Jejak Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang sempat menggemparkan publik Indonesia beberapa tahun silam.
Awal Mula Kemunculan
Taat Pribadi, yang bernama asli Dimas Kanjeng, mulai dikenal di kalangan masyarakat sekitar Probolinggo, Jawa Timur, pada awal tahun 2000-an. Ia mendirikan sebuah padepokan yang disebut Padepokan Dimas Kanjeng, yang terletak di Desa Wangkal, Kecamatan Gading. Dengan balutan ajaran spiritual dan nuansa religius, ia mengklaim memiliki kemampuan menggandakan uang melalui metode yang disebut sebagai “ilmu tingkat tinggi.”
Padepokan tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah atau pertemuan spiritual, tetapi juga menjadi pusat aktivitas perekrutan anggota baru. Para pengikut, yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, datang dengan harapan mendapatkan kekayaan instan. Mereka diminta menyetorkan sejumlah uang sebagai syarat untuk “penggandaan,” yang dijanjikan akan kembali berlipat ganda dalam waktu tertentu.
Skema Penipuan Berkedok Spiritual
Selama bertahun-tahun, Taat Pribadi membangun citra sebagai sosok karismatik dengan aura pemimpin spiritual. Ia kerap tampil dengan pakaian serba putih dan berperilaku kharismatik, serta mengutip ajaran-ajaran religius untuk memperkuat daya tariknya. Banyak pengikutnya yang meyakini bahwa ia mendapat “ilham langsung” dari kekuatan gaib untuk melakukan penggandaan uang.
Namun di balik itu, skema keuangan yang dijalankan Taat Pribadi sejatinya menyerupai praktik ponzi. Uang yang disetor oleh anggota baru digunakan untuk memenuhi janji kepada anggota lama. Jumlah kerugian yang diderita para pengikutnya pun mencapai angka miliaran rupiah. Selain itu, praktik ini diperkuat dengan kultus pribadi terhadap sosok Taat Pribadi, yang dijadikan sebagai pemimpin spiritual tak tergantikan.
Mengapa Banyak yang Tertipu?
Faktor utama yang menyebabkan banyak orang tertipu hingga rela menyerahkan uang dalam jumlah besar kepada Dimas Kanjeng adalah kombinasi antara kondisi ekonomi yang sulit, minimnya literasi keuangan, serta pengaruh psikologis dari kekuatan sugesti dan spiritualisme.
Banyak korban berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah yang melihat “penggandaan uang” sebagai jalan pintas keluar dari lilitan utang atau kemiskinan. Mereka terbius oleh testimoni para pengikut sebelumnya yang tampak berhasil dan oleh pertunjukan “demonstrasi penggandaan” yang sengaja dikemas dengan unsur mistik dan teatrikal.
Selain itu, Dimas Kanjeng kerap menggunakan simbol-simbol keagamaan, ziarah, dan ritual-ritual tertentu untuk meyakinkan bahwa yang ia lakukan bukan semata-mata transaksi finansial, melainkan bentuk “amal spiritual” yang diridai oleh kekuatan gaib. Dengan menciptakan atmosfer yang seolah-olah religius dan penuh mukjizat, ia berhasil menumbuhkan kepercayaan buta dari para pengikutnya.
Beberapa korban bahkan menjual harta benda, menjaminkan sertifikat rumah, atau berutang dalam jumlah besar untuk bisa menyetorkan uang ke padepokan, karena mereka diyakinkan bahwa uang tersebut akan kembali berkali-kali lipat dalam waktu singkat. Di sinilah manipulasi mental dan emosional berperan besar dalam memperkuat skema penipuan.
Terbongkarnya Aksi Penipuan
Kebohongan besar yang selama ini dibungkus dengan klaim spiritual mulai terbongkar pada tahun 2016. Polisi mulai menyelidiki aktivitas padepokan tersebut setelah adanya laporan dari sejumlah mantan pengikut yang merasa tertipu. Kasus ini menjadi semakin mencolok ketika muncul dugaan keterlibatan Taat Pribadi dalam pembunuhan dua orang pengikutnya, yaitu Ismail Hidayah dan Abdul Ghani.
Kedua korban disebut-sebut dibunuh karena mulai membongkar praktik penipuan dan mengancam reputasi padepokan. Polisi akhirnya menangkap Taat Pribadi pada 22 September 2016. Dalam penggeledahan di lokasi padepokan, ditemukan berbagai barang bukti, termasuk uang palsu dan dokumen-dokumen transaksi yang mengindikasikan adanya penipuan besar-besaran.
Jerat Hukum dan Pasal yang Dikenakan
Setelah melalui proses penyidikan dan persidangan, Dimas Kanjeng Taat Pribadi dijerat dengan sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang terkait lainnya. Beberapa pasal yang dikenakan terhadapnya antara lain:
-
Pasal 378 KUHP tentang penipuan, yang menyebutkan bahwa siapa saja yang dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
-
Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, yang mengatur bahwa pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu dapat diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.
-
Pasal 55 dan 56 KUHP, mengenai penyertaan dan bantuan dalam tindak pidana, mengingat aksi-aksi Taat Pribadi melibatkan peran sejumlah orang lainnya.
-
Pasal 3 dan 4 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), jika terbukti adanya upaya menyamarkan asal-usul uang hasil kejahatan.
Putusan Pengadilan
Pada tahun 2018, Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan vonis 18 tahun penjara kepada Taat Pribadi dalam perkara pembunuhan berencana terhadap Abdul Ghani. Dalam kasus terpisah terkait penipuan dan penggandaan uang, ia juga dijatuhi hukuman tambahan oleh pengadilan lain. Total masa hukuman yang dijatuhkan kepada Taat Pribadi berasal dari akumulasi beberapa perkara pidana berat.
Fenomena Dimas Kanjeng Taat Pribadi mencerminkan bagaimana kepercayaan masyarakat yang dipadukan dengan kondisi ekonomi yang rentan dapat dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Dengan pendekatan manipulatif dan pengaruh spiritual, Taat Pribadi berhasil menipu ribuan orang sebelum akhirnya kebohongannya terbongkar. Kasus ini juga menjadi pelajaran penting bagi masyarakat dan aparat hukum agar lebih waspada terhadap gerakan serupa yang masih bisa tumbuh dengan wajah berbeda. (*)