BARAK.ID – Indonesia sebagai bangsa besar dengan potensi sumber daya alam dan manusia yang melimpah, masih tertahan oleh satu penyakit kronis: sistem kekuasaan yang dikuasai oleh elit lama yang korup.
Sejak era Orde Baru hingga masa reformasi, wajah para penguasa mungkin berganti, namun mentalitas dan praktik busuk mereka tetap lestari.
Jika Indonesia sungguh ingin maju, maka yang harus “mati” lebih dulu bukan hanya kebijakan lama, melainkan elit lama itu sendiri—bukan dalam arti biologis, melainkan dalam struktur kekuasaan dan pengaruh mereka.
Korupsi dan Budaya Premanisme
Korupsi di Indonesia bukan sekadar praktik individual, melainkan sudah menjadi budaya sistemik yang mengakar dari kelas bawah hingga ke lingkaran tertinggi kekuasaan.
Di jalanan, pungli dianggap hal biasa. Di kantor-kantor pelayanan publik, “uang pelicin” adalah syarat tak tertulis. Di parlemen dan birokrasi, proyek-proyek besar sarat mark-up, suap, dan jual beli kebijakan.
Premanisme tak hanya hadir dalam bentuk fisik di jalan-jalan, tetapi juga dalam bentuk kuasa intimidatif oleh pejabat, aparat, bahkan politisi.
Demokrasi yang semestinya mengedepankan rasionalitas dan transparansi justru berubah menjadi panggung kekuasaan yang brutal, di mana uang dan kekuasaan menjadi senjata utama.
Warisan Orde Lama yang Belum Mati
Elit lama yang dimaksud adalah kelompok kekuasaan yang bertahan karena patronase politik, jaringan kroni, serta warisan oligarki.
Mereka lahir dari sistem yang permisif terhadap kolusi, nepotisme, dan kekerasan struktural.
Dalam banyak kasus, regenerasi politik bukan membawa pembaruan, melainkan perpanjangan umur kekuasaan lama dengan wajah baru—anak pejabat menjadi pejabat, kroni bisnis menjadi menteri, dan taipan menjadi penentu arah kebijakan.