BARAK.ID – Selama berabad-abad, emas dianggap sebagai aset “safe haven” atau pelindung nilai yang andal di tengah ketidakpastian ekonomi.
Logam mulia ini sering dipromosikan sebagai solusi untuk menghadapi inflasi, krisis moneter, atau gejolak pasar.
Investasi Emas Tidak Selalu Jadi Pilihan Paling Aman
Namun, anggapan bahwa emas selalu menjadi pilihan paling aman dalam berinvestasi perlu dikaji ulang.
Faktanya, emas memiliki sejumlah kelemahan yang sering diabaikan, mulai dari volatilitas harga hingga biaya tersembunyi.
Artikel ini akan membahas mengapa emas tidak selalu menjadi investasi teraman dan apa alternatif yang bisa dipertimbangkan.
Artikel Terkait: Uang Receh Bisa Jadi Investasi Besar: Langkah Rahasia Mengubah Seribu-an Menjadi Miliaran!
1. Volatilitas Harga yang Tidak Terduga
Meskipun dianggap stabil, harga emas sebenarnya rentan terhadap fluktuasi signifikan.
Nilainya dipengaruhi oleh faktor kompleks seperti suku bunga global, nilai tukar dolar AS, sentimen pasar, dan kebijakan bank sentral.
Misalnya, pada periode 2013–2015, harga emas anjlok hampir 30% akibat penguatan dolar AS dan ekspektasi kenaikan suku bunga oleh The Fed.
Pada 2020, harga emas sempat mencapai rekor tertinggi (USD 2.075 per ons) karena pandemi, tetapi turun kembali ke USD 1.700 per ons pada 2021.
Volatilitas ini membuat emas tidak selalu cocok untuk tujuan investasi jangka pendek.
Investor yang membeli emas di puncak harga berisiko mengalami kerugian jika terpaksa menjualnya saat pasar sedang turun.
Berbeda dengan instrumen seperti deposito atau obligasi pemerintah, emas tidak menjamin pengembalian tetap atau perlindungan penuh dari inflasi.
2. Biaya Penyimpanan dan Asuransi yang Menggerus Keuntungan
Investasi emas fisik (perhiasan, koin, atau batangan) memerlukan biaya tambahan yang sering diabaikan, seperti penyimpanan dan asuransi.
Menyimpan emas di rumah berisiko tinggi terhadap pencurian atau kerusakan, sementara menggunakan safe deposit box di bank membutuhkan biaya tahunan yang bisa mencapai 1–2% dari nilai emas.
Selain itu, emas tidak menghasilkan pendapatan pasif seperti dividen saham atau bunga deposito.
Contoh: Jika Anda membeli emas senilai Rp100 juta, biaya penyimpanan dan asuransi sebesar Rp1–2 juta per tahun akan mengurangi keuntungan potensial.
Dalam jangka panjang, biaya ini bisa menggerus nilai investasi, terutama jika harga emas stagnan.
3. Ketergantungan pada Kondisi Ekonomi Global
Kinerja emas sangat bergantung pada faktor eksternal yang sulit diprediksi, seperti:
- Kebijakan moneter AS: Kenaikan suku bunga oleh The Fed biasanya membuat dolar AS menguat, sehingga harga emas (yang berdenominasi dolar) cenderung turun.
- Geopolitik: Ketegangan politik atau perang bisa mendongkrak harga emas, tetapi efeknya sering bersifat sementara.
- Permintaan industri: Hanya 10% permintaan emas global berasal dari sektor industri (seperti elektronik dan medis). Sebagian besar justru berasal dari investasi dan perhiasan, yang sangat bergantung pada sentimen pasar.
Artinya, emas tidak sepenuhnya independen dari risiko sistemik.
Jika pasar saham atau properti tumbuh stabil, minat terhadap emas bisa melemah, sehingga harganya sulit naik signifikan.