BARAK.ID – Pasar saham sering kali dianggap sebagai arena yang digerakkan oleh data fundamental, analisis teknikal, dan kebijakan ekonomi.
Namun, di balik angka-angka dan grafik tersebut, ada faktor lain yang tak kalah kuat pengaruhnya: emosi massal.
Sentimen kolektif investor—baik itu ketakutan, keserakahan, optimisme, atau kepanikan—dapat memicu fluktuasi harga yang tidak rasional, bahkan mengubah tren pasar dalam hitungan jam.
Artikel ini akan mengupas bagaimana emosi massal membentuk dinamika pasar saham, contoh kasus nyata, serta strategi untuk menghadapinya.
Artikel Terkait: 7 Alternatif Investasi Selain Saham dan Emas
1. Emosi vs. Rasionalitas: Dua Sisi Pasar Saham
Pasar saham adalah cerminan dari interaksi antara logika dan psikologi.
Di satu sisi, investor profesional menggunakan analisis mendalam untuk menilai nilai intrinsik saham.
Di sisi lain, keputusan investasi sering kali dipengaruhi oleh bias kognitif dan tekanan sosial.
Menurut Daniel Kahneman, peraih Nobel Ekonomi, manusia cenderung mengambil keputusan berdasarkan emosi, lalu mencari pembenaran rasional setelahnya.
Fenomena ini disebut emotional bias, dan dalam skala massal, bias ini mampu menggerakkan pasar.
Contoh klasik adalah herd behavior (perilaku kawanan), di mana investor mengikuti tren tanpa analisis mendalam.
Ketika harga saham suatu perusahaan melonjak, banyak orang membeli karena takut ketinggalan (Fear of Missing Out/FOMO).
Sebaliknya, ketika pasar anjlok, kepanikan massal (panic selling) memperburuk penurunan.
2. Siklus Emosi Pasar: Dari Euforia hingga Depresi
Pasar saham bergerak dalam siklus psikologis yang dapat diprediksi.
Dr. Jean-Paul Rodrigue, seorang ekonom, menggambarkan siklus ini dalam 4 fase utama:
- Akumulasi: Harga rendah, investor cerdas mulai membeli.
- Euforia: Harga meroket, publik ramai-ramai masuk pasar.
- Distribusi: Puncak pasar, investor berpengalaman mulai menjual.
- Kepanikan: Harga jatuh, emosi negatif mendominasi.
Fase euforia dan kepanikan adalah periode ketika emosi massal paling kuat.
Misalnya, selama bubble saham teknologi (1999–2000), investor memborong saham startup tanpa profit hanya karena tren “dot-com”.
Ketika gelembung pecah, indeks NASDAQ anjlok 78% dalam dua tahun.
Artikel Terkait: Alternatif Investasi yang Menguntungkan
3. Contoh Kasus: Emosi Massal yang Mengguncang Pasar
a. GameStop dan Kekuatan Retail Investors (2021)
Aksi short squeeze saham GameStop yang dipicu komunitas Reddit r/WallStreetBets menjadi bukti nyata kekuatan emosi massal.
Retail investor—banyak di antaranya pemula—bersatu membeli saham GME untuk “menghukum” hedge fund yang melakukan shorting.
Meski fundamental perusahaan lemah, sentimen solidaritas dan FOMO mendorong harga saham naik 1.500% dalam beberapa minggu.
b. Krisis Finansial 2008: Ketakutan yang Menular
Kepanikan atas kredit macet di AS menyebar ke seluruh dunia, menyebabkan indeks saham global turun rata-rata 50%.
Investor menjual aset secara membabi buta, meski banyak saham yang sebenarnya undervalued.
c. Pandemi COVID-19: Volatilitas Ekstrem
Pada Maret 2020, ketakutan akan lockdown memicu penjualan besar-besaran.
Namun, sentimen berbalik cepat setelah pemerintah menggelar stimulus. Indeks S&P 500 pulih 68% dalam setahun, didorong optimisme vaksin dan kebijakan moneter longgar.